Pada suatu malam, aku merasa gelisah memikirkan permasalahanku, perasaanku tidak betah tinggal di Pekanbaru, ingin rasanya aku pergi ke suatu tempat yang tidak akan ada keluarga dan teman mengetahuiku. Tapi aku tidak tahu kemana harus pergi, kucobalah untuk berfikir dan mencari siapa kira-kira temanku yang ada di luar Pekanbaru yang bisa ku kunjungi. Ada temanku di Kuantan Singingi, namanya Masriadi, tapi dia sudah menikah. Ah, aku tidak mungkin kesana, kalau saya ke sana pasti saya merepotkan dan menggangu dia, karena dia sudah punya istri. Ada temanku di Siak, namanya Syamsuddin, ah, aku belum tahu tempatnya dimana, katanya tinggal di pedesaan, lagian Siak itu jauh dari Pekanbaru. Jadi, siapa ya temanku yang bisa ku kunjungi.
Oh ya, ada temanku di Pelalawan, namanya Risman. Ya, disana saya akan pergi, tempatnya tidak terlalu jauh dari Pekanbaru, tapi cukup sebagai tempat pelarianku. Malam itu juga aku mengaktifkan handphoneku yang memang selalu kumatikan, kemudian aku mengirimkan sms ke Risman, “Aslkm... Risman, kamu di mana sekarang, masih di Kerinci? Boleh gak aku ke sana tapi mungkin hari minggu baru aku pulang?”. Demikian isi smsku yang ku kirimkan kepada Risman. Setelah aku kirim, handphone kumatikan kembali.
Setelah aku shalat subuh pada esok harinya, kembali kuaktifkan handphoneku, sesaat setelah handphoneku aktif, Risman menelponku, seperti biasa, pertama ia menanyakan keadaanku, dilanjutkan dengan berbincang-bincang, tidak terlalu lama. Inti pembicaraan kami, dia mempersilahkanku datang ke tempatnya kapan saja aku mau. “kalau kamu udah mau pergi, sms atau misscall saya, biar saya terlpon kamu, karena siapa tahu kamu gak ada pulsa”, itu katanya sambil mengakhiri perbincangan kami.
Pagi itu juga aku bersiap-siap. Pakaian yang aku cuci kemarin aku ambil dan aku setrika kemudian kupilih mana saja pakaianku yang harus ku bawa dan mana yang harus ku tinggal, setelah makan siang bareng dengan Sudirman, (Sudirman adalah teman yang tinggal sama aku di Mushalla), sudirman bersiap-siap untuk pergi ke kampus, sebelum dia berangkat, aku mencoba untuk meminjam uang darinya, karena memang saat itu uangku tidak ada, akhirnya dia bersedia meminjamkan aku Rp. 50.000,- dan uang itulah yang aku bawa ke tempat Risman. Tidak lama setelah Sudirman pergi, aku pun berangkat dengan sepeda motorku yang tua, hasil dari jual tanah orang tua di kampung. Sepanjang perjalanan saya terus menangis merenungi keadaan hidupku saat itu. Air mataku terus menetes.
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 40 menit, akhirnya aku sampai di tempat Risman. Namun saat itu Risman tidak ada di rumah, dia sedang mengajar MDA di Mesjid, yang ada hanya adiknya, adiknyalah yang menyambutku, karena memang sebelumnya ia sudah mengenalku. Aku memang sering ke rumah Risman ketika masih di Rumbio Kampar. Semua keluarganya mengenalku, keluarganya ramah walaupun hidupnya sederhana.
Sesampainya di sana, aku langsung masuk ke dalam rumah, kemudian aku dipersilahkan masuk ke kamar untuk menyimpan barang bawaanku. Hatiku rasanya legah saat itu, walaupun belum berjumpa dengan Risman.
Setelah shalat ashar berjama’ah di mushalla dekat rumah, aku baring-baring di luar sambil menyaksikan indahnya pemandangan di desa Sei Kijang. Namun, indahnya pemandangan saat itu tidak dapat mengalihkan pikiranku terhadap masalah yang sedang menimpaku. Aku tetap selalu memikirkannya, hingga tidak kusadari aku tertidur di atas tumpukan jaring yang dijual oleh adik Risman di luar rumah.
Tidak lama setelah aku bangun Risman pun datang dengan motor Yahama Vixion yang dibelinya sekitar empat bulan yang lalu. Akupun menyambutnya dengan salam dan jabat tangan yang hangat. Setelah lama berbincang-bincang, sepertinya adik Risman tahu betul apa yang enak dilakukan kalau sore-sore seperti ini, dia membeli gorengan yang tidak jauh dari tempat Risman, kami terus berbincang-bincang sambil menikmati gorengan yang baru saja dibeli oleh adik Risman. Tidak terasa hari sudah menjelang maghrib, kami bersegera bersiap-siap untuk pergi mandi kemudian berangkat pergi shalat. aku dan Arman (adik Risman) shalat di mushallah dekat rumah, sementara Risman shalat di Mesjid karena ia akan mengajar anak-anak di sana.
Malam pertama aku di tempat Risman, suara iringan mobil dan motor masih terdengar. Waktu itu aku sedang beradaptasi dengan lingkungan di sini, aku belum tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Aku tampak amnesia saat itu, seakan tidak tahu apa-apa.
Sebelum shalat isya tiba, aku dan Arman pergi ke Mesjid tempat Risman mengajar, dengan mengendarai sepeda motor tuaku itu, aku dan Arman beranjak dari rumah. Sesampainya di mesjid, aku melihat Risman sedang konsentrasi mengajar anak-anak didiknya, kamipun tidak mau mengganggunya. Waktu shalat isya belum masuk, waktu menjelang isya itu aku manfaatkan untuk berbincang-bincang dengan Arman tentang keadaan lingkungan di kampung ini.
Ketika sedang asyik-asyiknya berbincang-bincang, waktu shalat isya pun masuk, dan kamipun pergi mengambil air wudhu dan kemudian masuk ke mesjid mendengarkan suaran adzan disusul dengan shalat qabla isya dan shalat fardhu isya secara berjama’ah.
Setelah shalat isya, kami pulang bersama-sama ke rumah. Saat itu, kami sedang lapar, tentu saja, karena memang kami belum makan malam saat itu. Segeralah Risman memesan nasi goreng yang ada di depan rumah. Ya, kali ini menu makan malam kami adalah nasi goreng.
Tidak lama setelah di pesan, pelayanpun datang dengan membawa kantong pelastik yang berisikan 3 bungkus nasi goreng dan 3 bungkus air minum. Karena memang kami sudah lapar, segeralah kami masuk ke dalam rumah untuk menyantap nasi goreng yang masih berasap karena hawa panas. Enak,! ya... rasanya enak, entah karena lapar atau memang masakannya yang enak, aku, Arman dan Risman menghabiskan semua jata nasi goreng tanpa ada sisa kecuali bungkusannya. Di saat kami sedang makan, Risman melihat ada cemangi di dalam tiap bungkusan nasi goreng,
“kalau di kampung kami, ini namanya rumput, seperti ini dibuang-buang”,
ujar Risman dengan sedikit meremehkan daun cemangi.
“kalau di kampung kami, daun ini namanya cemangi, sangat enak untuk di jadikan lalapan ketika makan, apalagi kalau pake sambal terasi, kalau dikampungku, ikan-ikan kecil yang banyak di Kampar, dan termasuk makanan paforit orang Kampar, justru di kampungku itu dibuang-buang saja”, komentarku dengan sedikit menyinggung Risman. spontan Arman tertawa dengan ucapanku itu, Aku dan Risman pun ikut tertawa.
Sepanjang kami makan terus saja berbincang-bincang, rasanya ini sedikit menghilangkan ingatanku dengan masalah-masalahku.
Setelah makan bersama, kamipun beranjak ke tempat tidur, mungkin karena lelah, lagi pula di sana tidak ada televisi. Sebelum tidur, saya mengeluarkan laptop, rencana mau memutar film, tapi karena lelah sekali, jadi ku urungkan rencanaku itu dan kami baring-baring hingga tertidur.
Malam itu adalah malam pertama aku tidur di tempat Risman. Di sana nyamuk sangat banyak, 2 gulung obat nyamuk yang sudah di bakar kami letakkan di bawah ranjang, itupun belum cukup, kami juga harus memakai lation anti nyamuk.
Sebenarnya tempat tidur itu bisa muat untuk 3 orang, tapi Arman sepertinya sangat pengertian dan paham sekali bagaimana menghormati tamu. Dia memilih tidur di luar kamar, tepatnya di kursi yang terbuat dari papan yang dia buat sebagai tempat duduk ketika sedang menjaga tokonya. Panjangnya lebih kurang 1 ½ meter. Saya sudah mencoba untuk menyuruhnya tidur bersama kami di kamar, tapi dia tidak mau. Sebenarnya kasian juga sih melihat Arman tidur di luar, tapi ya sudahlah, semoga kebaikannya di balas dengan lebih banyak kebaikan lagi dan pahala yang berlipat ganda oleh Allah swt.
Malam semakin larut, suara kendaraan yang lalu lalang di luar silih berganti, mataku sudah sangat ngantuk. Bismillahirrahmanirrahim, bismika allahumma ahyaa wabismika amut, Allahu Akbar, akupun membaringkan badanku hingga tertidur. Zzz... Zzz.... Zzz...
Pagi harinya, kami dibangunkan oleh suara baca al-Qur’an di mushalla samping rumah, alhamdulillahi rabbil ‘alamin ahyaana ba’da maa amaatanaa wa ilaihinnusyur, kamipun segera bangun dan mengambil air wudhu, kemudian ke mushallah bersiap-siap untuk mendirikan shalat subuh secara berjama’ah.
Setelah shalat subuh, kami manfaatkan waktu untuk nonton film di kamar tidur. Setelah itu kami mandi secara bergantian. Sarapan kami kali ini adalah lontong sayur yang telah dibeli Risman di luar. Setelah sarapan dan mandi, Risman menuju ke Sekolah untuk mengajar, sementara Arman membukan toko yang menjadi tumpuan hidupnya saat ini. Nama tokonya Kios Anak Tanggo, alasan pengambilan nama ini adalah karena bisnis ini dimulai dengan modal yang kecil hingga naik sedikit demi sedikit layaknya menaiki anak tanggga hingga sampai sekarang, seperti itu kata Arman. Sementara tugas saya hanya membantu apa yang saya bisa bantu sampai mengamati semua peristiwa yang terjadi selama saya di Sei Kijang.
Waktuku aku habiskan untuk membaca buku dan menulis cerita ini, karena memang di sini aku hanya ingin menenangkan pikiran dan tentu saja waktu luangku lebih banyak. Aku terus menulis sambil mendengarkan senandung musik yang selalu dibunyikan oleh Arman ketika sedang menjaga tokonya. Tangankupun terlihat begitu asyik mengetik tombol-tombol laptop, seakan mengikuti rentakan nada-nada lagu syahdu.
Tidak terasa hari sudah hampir siang, para pelanggan toko pun tidak berhenti berdatangan silih berganti. Kini aku akan bersiap-siap untuk pergi ke Mushallah untuk mendirikan shalat fardhu dzuhur berjama’ah. Kali ini aku yang diberi kesempatan untuk azan karena memang belum ada orang yang datang. Dengan suaraku yang khas, aku melantunkan azan dengan nada yang begitu syahdu, mushalla yang sangat mungil terasa berubah menjadi sangat besar, bunyi kendaraan yang lewat berubah menjadi suara iringan orang-orang yang sedang melaksanakan tawaf, seakan berada di sekitar ka’bah di kota Mekkah al Muqarrom. Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik....
Shalat dzhur telah berlalu, dan telah kami tunaikan salah satu kewajiban sebagai hamba Allah, yaitu mendirikan shalat fardhu dzuhur, dan telah kami lakukan dengan berjama’ah.
Sepertinya saya merasakan ada perubahan dalam pikiranku, perlahan-lahan masalahku beransur hilang, dan semakin kusadari bahwa masa lalu itu tidak akan pernah kembali, aku berpikir bahwa lebih baik kupikirkan hidupku saat ini, karena yang kumiliki sekarang adalah saat ini. Aku berittikad untuk memperbaiki hidupku mulai saat ini. Insya Allah.
Setelah shalat ashar, aku dan Risman menyempatkan diri untuk bermain badminton di pinggir jalan raya. Asyik juga meskipun dengan perlengkapan seadanya.
Tidak terasa waktu terus berjalan, kini hari sudah menjelang maghrib, kami bersegera pergi mandi. Kali ini aku tidak shalat di Mushallah seperti malam yang pertama, kali ini kami shalat di mesjid tempat Risman mengajar. Di sana kami shalat maghrib, ternyata, Risman yang menjadi imam kami dalam shalat magrib, Risman memang luar biasa. Setelah shalat magrib, aku mendaras (memperlancar) hafalan al-Qur’anku hingga masuk waktu isya. Kami pulang ke rumah setelah shalat isya, dan seperti malam sebelumnya, setelah makan malam dan sebelum tidur, kami menonton film di laptop yang aku bawa. Film yang kami tonton adalah film Rambo yang ke IV. Sepertinya Risman dan Arman sangat menikmati film itu, dia menontonnya hingga selesai. Setelah menonton, kamipun tidur. Zzz... zzz... zzz...
Tiba-tiba terdengar bunyi alarm handphone ku, pertanda jam menunjukkan pukul 04,30 WIB, aku pun bangun, tapi kali ini bukan bangun untuk mengambil air wudhu, tapi bangun untuk mematikan alarm, setelah itu aku tidur kembali. aku berharap ada suara azan yang akan membangunkanku nanti seperti subuh sebelumnya. Namun, apa yang terjadi, hingga jam 5 subuh kami tidur, tidak ada seorangpun yang azan di mushalla, akhirnya kami bangun kemudian ambil wudhu dan pergi ke mushalla, kali ini tanpa azan, Risman langsung qomat dan aku yang dipercaya untuk jadi imam, ma’mumnya hanya dua orang, yaitu Risma dan Arman.
Seiring waktu berjalan, pagipun menjelang dan mataharipun mulai terbit. Pagi ini hari jum’at, hari ini Risman akan pulang ke Rumbio Kampar, sementara aku dan Arman akan tinggal di sini. Tapi Risman pulang tidak lama, nanti sore juga dia akan pulang ke sini, dia hanya ingin mengambil ijazahnya. Setelah sarapan, Risman pun berangkat ke Rumbio.
Hari ini kembali aku habiskan waktu untuk membaca buku dan menulis. Kali ini buku yang saya baca adalah buku karangan DR, ‘Aidh al-Qarni, “Laa Tahzan”. Aku memulai membacanya, rasanya sangat menyentuh dengan apa yang aku rasakan saat ini. Hal ini semakin membantu untuk menghilangkan masa laluku yang kelabu.
Waktu shalat Jum’at sudah hampir tiba, kamipun telah bersiap-siap pergi ke mesjid. Setiba di mesjid, ternyata belum ada jama’ah yang datang, jadi kami orang yang pertama tiba di mesjid kali ini. Saya masuk ke mesjid, sebelum duduk, aku mendirikan shalat tahiyatul masjid terlebih dahulu. Setelah itu aku membaca al-Qur’an hingga bilal mengumandangkan azan.
Shalat jum’at telah selesai, kali ini aku tidak langsung pulang ke mesjid, tapi aku dan Arman langsung ke rumah makan yang jaraknya 4 kilo meter dari rumah, tujuan kami kali ini untuk membeli nasi bungkus. Di dekat rumah bukan tidak ada rumah makan, hanya saja menurut Arman, nasi yang ada di dekat rumah semua tidak enak, kalau beli selalu saja tersisa.
Setelah lama menunggu karena banyak yang antri, akhirnya kami pulang, setibanya di rumah kami makan bersama. Alhamdulillah, kali ini nasi bungkus kami termakan dengan habis.
Setelah makan, kulanjutkan dengan rutinitasku untuk membaca buku dan menulis.
Waktu itu adalah hari Ahad, hari kelima aku di di tempat Risman, dan ini adalah hari terakhirku di sini, setelah sarapan, saya sudah harus pulang ke Pekanbaru. Pagi-pagi aku dan Risman pergi ke Pasar yang jaraknya kira-kira 4 kilometer dari tempat Risman. Kami membeli cabe merah, bawang, tomat bulat, timun dan sayur bayam. Kami ingin membuat nasi goreng.
Sesampainya di rumah, saya langsung mempersiapkan segala sesuatunya untuk membuat nasi goreng. Risman dan Arman juga membantuku. Pertama-tama kuhaluskan cabe dan bawang dengan batu yang sudah disiapakan, Risman mengiris bawang dan membersihkan sayur bayam yang dibelinya. Sementara Arman, setelah memasak nasi di Rice Cooker, ia kami tugaskan untuk memotret dan merekam selama kami membuat nasi goreng.
Setelah lama bergelut dengan kompor dan apinya, dengan kuali dan segala macam isinya, kini semua telah siap saji, lengkap dengan bumbu-bumbunya yang menggoyangkan lidah. Saatnya untuk menyantap nasi goreng yang telah kami buat. Wah, enak, betul-betul enak, kami menikmati nasi goreng ini, walaupun sesekali Arman melayani pelanggan yang ingin berbelanja.
Setelah menyantap nasi goreng yang enak itu, (ya iyalah siapa dulu yang bikin, he.. he... he...), kami sama-sama melihat dan menonton photo dan rekaman video yang baru saja direkam oleh Arman. Ternyata bagus dan lucu, kami sangat terhibur menikmati video itu.
Jam menunjukkan pukul 09.00 waktu setempat, setelah mandi, sarapan dan lainnya, akupun sudah harus bersiap-siap untuk berangkat ke Pekanbaru, segala sesuatunya telah aku persiapkan. Tas sudah berada di pundakku, sepeda motorkupun sedang kupanaskan, kini saatnya aku pamit dengan Risman dan Arman,
”Risman, aku pulang ya, terima kasih engkau telah melayani aku sebagai tamu, semoga Allah membalas semua kebaikanmu, aku mohon maaf karena telah merepotkanmu”, ucapku kepada Risman.
“Ah, tidak merepotkan koq, justru aku senang kamu datang ke sini, jangan bosan-bosan ke sini ya, aku mohon maaf jika pelayananku tidak memuaskanmu”. Jawab Risman yang mengantarku ke luar rumah.
Kini aku datangi Arman yang sedang negosiasi dengan orang yang mengampaskan barangnya,
“Arman, abang pulang ya”
“Oh udah mau pulang ya bang” tanya Arman kepadaku.
“Iya, terima kasih ya atas kebaikanmu selama ini, mohon maaf telah menyusahkanmu”.
“Iya bang, hati-hati di jalan, sering-seringlah main ke sini bang biar kami ada hiburan” ucap Arman sambil kulepaskan jabat tanganku.
Aku melangkah menuju motorku yang memang telah kuhidupkan, Risman berada di samping untuk melepas keberangkatanku,
“Ok ya Man, aku pulang, Assalamu’alaikum”
“Walaikumussalam warohmataullahi wabarokatuh, ya hati-hati”...
Perlahan aku jalankan sepeda motorku meninggalkan desa Sei Kijang, tempat pelarian aku selama ini. Kini aku kembali ke Pekanbaru untuk menghirup udaranya, entah apa kabar Pekanbaru kini, setelah ku tinggalkan selama 5 hari.
____________________________
No comments:
Post a Comment